RSS
Container Icon

Mengajar Tidaklah Mudah

Pagi itu, perasaan takut menghampiriku. Resah yang semalam kurasakan seolah tidak berniat untuk berhenti menyiksaku. Mungkin kini, lingkar di mataku sudah sehitam panda. Kuucap sebait doa sambil kupejamkan kedua mata yang seolah ingin sekali terpejam tanpa harus terbuka lagi. Aku menarik napas panjang dan sangat dalam sambil berkata di dalam hati “Selamat Pagi Dunia Baru”.

 Aku menapakki gerbang yang belum bisa dibilang tua itu dengan gelisah. Kuberikan senyumku yang terindah kepada setiap orang yang berada di situ. Sebagian membalas, sebagian pula seolah buat dan bahkan tidak tau bahwa aku ada. Aku mencari ruangan yang menjadi tempat tujuan utamaku. Sulit sekali bagiku untuk menemukannya. 

Keringat dingin mengucur deras dari dahiku. Sepertinya aku baru saja berlari, berlari dan terus berlari. Ya, aku gugup dan amat takut. Dengan ragu aku masukki ruangan itu. Ruangan tempat aku akan mengabdi. Banyak pasang mata melihat ke arahku, ada yang ramah, tapi ada pula yang acuh tak acuh. Jika semua orang mengira aku sudah lega, itu adalah sebuah kesalahan. 

Aku mencari mejaku dan mulai merapihkan segala barang bawaanku. Inilah hari pertamaku berada di sekolah, yang lebih tepatnya aku akan mengajar dan tidak lagi belajar. Sebagai guru baru yang masih tergolong sangat muda, aku tentu merasa sangat canggung. Ingin rasanya aku menangis dan berteriak, tapi tekadku sudah bulat bahwa inilah panggilanku. Toh, aku suka pada anak – anak. 

Kesalahan utama yang ada pada diriku saat ini adalah ketika aku beranggapan bahwa mengajar pelajar putih abu – abu adalah hal yang mudah karena mereka sudah tergolong dewasa. Ingatlah bahwa itu adalah pikiran paling bodoh yang pernah melintas di otakku. Entahlah, mungkin aku terkena keram otak jika memang ada. Tak terasa sudah seminggu kulewati di sekolah ini. Teman – teman guru yang jauih lebih senior dariku sepertinya sudah mulai bisa menerima keberadaanku, dan ‘mudah – mudahan aku tidak salah’, beberapa muridku pun sepertinya mulai bisa menerimaku. Lokasi baru ini bagaikan dunia baru yang penuh misteri, di mana aku seperti seorang anak dungu yang belum tau apa – apa dan tidak mengenal apa pun. Ada beberapa siswa yang melecehkanku, dan tak mau menggubris omonganku. Aku marah! Tapi apa yang bisa ku perbuat untuk mereka? Sepertinya aku harus merancang suatu metode untuk merubah sikap mereka. Sungguh, aku tidak membenci mereka. 

Sulit sekali ternyata menerapkan segala metode yang telah kupersiapkan untuk mereka. Berbagai teguran telah kulontarkan sampai mulutku ini rasanya berbusa bagai menelan sebatang sabun mandi. Tetapi, perlahan tapi pasti, aku mulai memahami. Bukan makian yang mereka butuhkan, dan bukan juga pujian yang ingin mereka dengar, melainkan sebuah perhatian. 

Mereka yang nakal, sesungguhnya bukanlah anak jahat. Mereka butuh kasih sayang yang mungkin tidak mereka dapatkan di rumah. Di mana kedua orang tua mereka mungkin tak lagi sempat untuk mengajari mereka bertata krama saking sibuknya mencari uang. Mereka bukan lah robot yang gila uang, bagaimana pun mereka tetap hanya seorang anak. 

Akhirnya kutemukan sebiah celah di mana ada keyakinan bahwa aku pasti bisa merangkul mereka semua. Kuanggap saja mereka itu anak – anakku sendiri ceritanya. Aku terjun menyelami setiap ombak yang terasa mengalir di hati mereka. Mereka bisa terbuka padaku, dan itu amat menolongku. Dengan mudah, aku bisa mengajari mereka banyak hal bahkan hal yang paling mereka benci sekali pun. 

The Best Teacher MA NURUL HUDA

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

fly